Allah telah berjanji untuk menjaga Adz Dzikra dalam firman-Nya :
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Adz Dzikra dan kamilah yang akan menjaganya”. (QS Al Hijir : 9).
Dan masuk ke dalam makna Adz Dzikra adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena Allah Ta’ala berfirman dalam ayat lain :
وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
“Dan Kami telah menurunkan Adz Dzikra agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang diturunkan kepada mereka dan agar mereka berfikir”. (QS An Nahl : 44).
Ayat ini menunjukkan bahwa Adz Dzikra yang dimaksud adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena ia berfungsi menjelaskan Al Qur’an yang diturunkan kepada mereka. Di antara cara Allah menjaga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan adanya sanad yaitu rantai perawi yang menyampaikan kepada matan hadits, oleh karena itu perhatian para ulama terhadap sanad hadits sangat besar. Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata:
الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad itu termasuk agama, kalau bukan karena sanad orang akan seenaknya menisbatkan (kepada Nabi) apa yang ia mau”.[1]
Para ulama telah menyingsingkan lengan mereka bersungguh-sungguh membela hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka memeriksa sanad-sanad hadits dengan cara yaitu :
Pertama : Mengenal sejarah perawi hadits.
Maksudnya adalah nama, kunyah, gelar, nisbat, tahun kelahiran dan kematian, guru-guru dan muridnya, tempat-tempat yang dikunjunginya, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan sejarah perawi tersebut, sehingga dari sini dapat diketahui sanad yang bersambung dengan sanad yang tidak bersambung seperti mursal[2], mu’dlal[3], mu’allaq[4], munqathi`[5] dan diketahui pula perawi yang majhul ‘ain[6] atau hal[7] juga kedustaan seorang perawi.
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata: “Ketika para perawi menggunakan dusta, maka kami gunakan sejarah untuk (menyingkap kedustaan) mereka”.[8]
‘Ufair bin Ma’dan Al kila’I berkata: “Datang kepada kami Umar bin Musa di kota Himish, lalu kami berkumpul kepadanya di masjid, maka ia berkata: “Haddatsana (telah bercerita kepada kami) syaikh kalian yang shalih, ketika ia telah banyak berkata demikian, aku berkata kepadanya: “Siapakah syaikh kami yang shalih itu, sebutkanlah namanya agar kami dapat mengenalinya”.
Ia berkata: “Khalid bin Ma’dan”.
Aku berkata: “Tahun berapa engkau bertemu dengannya ?”
Ia menjawab: “Tahun 108H”.
Aku berkata: “Di mana engkau bertemu dengannya ?”
Ia menjawab: “Di perang Armenia”.
Aku berkata kepadanya: “Bertaqwalah engkau kepada Allah dan jangan berdusta!! Khalid bin Ma’dan wafat pada tahun 104H dan tadi engkau mengklaim bertemu dengannya pada tahun 108H, dan aku tambahkan lagi untukmu bahwa ia tidak pernah mengikuti perang Armenia, namun ia ikut perang melawan Romawi”.[9]
Abul Walid Ath Thayalisi berkata: “Aku menulis dari Amir bin Abi Amir Al Khozzaz, suatu hari ia berkata: “Haddatasana ‘Atha bin Abi Rabah”.
Aku berkata kepadanya: “Tahun berapa engkau mendengar dari ‘Atha ?”
Ia menjawab: “Pada tahun 124H”.
Aku berkata: “‘Atha meninggal antara tahun 110-119H”.[10]
Kedua : Memeriksa riwayat-riwayat yang dibawa oleh perawi dan membandingkannya dengan perawi lain yang tsiqah (terpercaya) baik dari sisi sanad maupun matan.
Dengan cara ini dapat diketahui kedlabitan (penguasaan) seorang perawi sehingga dapat divonis sebagai perawi yang tsiqah atau bukan, dengan cara ini pula dapat diketahui jalan-jalan sebuah periwayatan dan matan-matannya sehingga dapat dibedakan antara riwayat yang shahih, hasan, dla’if, syadz[11], munkar[12], mudraj[13], juga dapat mengetahui illat (penyakit) yang dapat mempengaruhi keabsahan riwayatnya dan lain sebagainya. Diantara contohnya adalah :
Khalid bin Thaliq bertanya kepada Syu’bah: “Wahai Abu Bistham, sampaikan kepadaku hadits Simak bin Harb mengenai emas dalam hadits ibnu Umar”.
Ia menjawab: “Semoga Allah meluruskanmu, hadits ini tidak ada yang meriwayatkannya secara marfu`[14] kecuali Simak”.
Khalid berkata: “Apakah engkau takut bila aku meriwayatkannya darimu ?”
Ia menjawab: “Tidak, akan tetapi Qatadah menyampaikan kepadaku dari Sa’id bin Musayyib dari ibnu Umar secara mauquf[15], dan Ayyub mengabarkan kepadaku dari Nafi’ dari ibnu Umar secara mauquf juga, demikian juga Dawud bin Abi Hindin menyampaikan kepadaku dari Sa’id bin Jubair secara mauquf juga, ternyata dimarfu’kan oleh Simak, makanya aku khawatir pada (riwayat)nya”.[16]
Kisah ini menunjukkan bahwa para ulama hadits mengumpulkan semua jalan-jalan suatu hadits dan membandingkan satu sama lainnya dengan melihat derajat ketsiqahan para perawi; mana yang lebih unggul dan mana yang tidak sehingga dapat diketahui penyelisihan seorang perawi dalam periwayatannya, dan ini sangat bermanfaat sekali untuk menyingkap illat (penyakit) sebuah hadits dan kesalahan-kesalahan perawi dalam meriwayatkan hadits.
Yahya bin Ma’in pernah datang kepada ‘Affan untuk mendengar kitab-kitab Hammad bin Salamah, lalu ‘Affan berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak pernah mendengarnya dari seorangpun ?”
Ia menjawab: “Ya, Aku mendengar dari tujuh belas orang dari Hammad bin Salamah.
‘Affan berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menyampaikannya kepadamu”.
Berkata Yahya: “Ia hanya mengharapkan dirham”. Lalu Yahya bin Ma’in pergi menuju Bashrah dan datang kepada Musa bin Isma’il, Musa berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak pernah mendengar kitab-kitabnya dari seorangpun ?”
Yahya menjawab: “Aku mendengarnya dari tujuh belas orang dan engkau yang kedelapan belas”.
Ia berkata: “Apa yang engkau lakukan dengan itu ?”
Yahya menjawab: “Sesungguhnya Hammad bin Salamah terkadang salah maka aku ingin membedakan antara kesalahannya dengan kesalahan orang lain, apabila aku melihat ashhabnya (para perawi yang sederajat dengannya) bersepakat pada sesuatu, aku dapat mengetahui bahwa kesalahan berasal dari Hammad, dan apabila mereka semua bersepakat meriwayatkan sesuatu darinya namun salah seorang perawi darinya menyalahi periwayatan perawi-perawi lain yang sama-sama meriwayatkan dari Hammad, aku dapat mengetahui bahwa kesalahan itu dari perawi tersebut bukan dari Hammad, dengan cara itulah aku dapat membedakan kesalahan Hammad dengan kesalahan orang lain terhadap Hammad”.[17]
Subhanallah ! demikianlah Allah menjaga agama ini dengan adanya para ulama yang amat semangat dalam menelusuri periwayatan hadits dan membedakan antara periwayatan yang benar dari periwayatan yang salah. Dengan mengumpulkan jalan-jalan hadits dapat diketahui pula mutaba’ah[18] dan syawahid[19] serta kesalahan matan[20] hadits yang bawakan oleh seorang perawi.
Abu Hatim Makki bin Abdan berkata: “Aku mendengar Muslim bin Hajjaj berkata: “(contoh) kabar yang dinukil namun salah dalam matannya : Haddatsani Al Hasan Al Hulwani dan Abdullah bin Ubaidullah Ad Darimi, keduanya berkata: “Haddatsana Ubaidullah bin Abdul Majid haddatsana Katsir bin Zaid, haddatsani Yazid bin Abi Ziyad dari Kuraib dari ibnu Abbas ia berkata: “Aku pernah bermalam di rumah bibiku Maimunah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di atas panjangnya bantal dan aku berbaring pada lebarnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun dan berwudlu sedangkan kami masih tidur, kemudian beliau berdiri shalat. Akupun berdiri di sebelah kanannya, maka beliau menjadikan aku di sebelah kirinya…Al Hadits.
Muslim berkata: “Kabar ini salah dan tidak mahfudz (syadz), karena banyaknya kabar-kabar yang shahih yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqat yang menyebutkan bahwa ibnu Abbas berdiri di sebelah kiri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu dipindahkan ke sebelah kanan beliau dan ini menyelisihi kabar tadi. Demikian pula sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam seluruh kabar dari ibnu Abbas bahwa seseorang berdiri di sebelah kanan imam bukan disebelah kirinya”.
(Lanjut… hal 2)